
Gambar: Dok. Peserta Daurah
Di antara semua kegiatan absurd yang pernah kulakukan di Mesir -mulai dari kena tipu driver Uber sampai pesan es teh manis di warung kopi Mesir, ikut Daurah Ramadan di Alexandria adalah yang paling masuk akal.
Alasan utama? Bukan karena kitabnya, tapi karena satu nama: Maulana Syekh Alaa. Beliau tipikal ulama yang bukan cuma cerdas, tapi ramah, peduli, dermawan, dan humoris. Sosok guru yang cocok sekali untuk Gen-Z. Beliau itu kalau mengajar kayak na ajak ki nongkrong, ringan dan santai. Tapi topik pembahasannya berbobot semua.
Sekarang kita akan ngobrol santai tentang pengalaman sebulan ikut daurah di sana. Ini supaya memberi gambaran dan informasi kepada Anggota/i yang suatu saat ingin mencicipi suasana belajar di luar Kairo.
Berangkat ke Alexandria
Pamflet pendaftaran daurah ini kutemukan tiga hari sebelum dimulai. Pertama kali lihat, langsung hubungi contact person untuk daftar. Takut ketinggalan. Dan tojeng (baca: betul), selang dua hari kemudian, kuota peserta sudah penuh dan pendaftaran ditutup.
Panitia daurah, Ahbab Alexandria, menyediakan fasilitas bus sebagai media transportasi peserta dari Kairo ke Alexandria.
Opsi naik bus memang lebih mudah karena barang bawaan untuk sebulan itu biasanya tidak sedikit.
Akan tetapi, saya memilih cara yang lebih susah, yaitu naik kereta. Kalau pakai mobil, kan sudah biasa. Sesekali merasakan vibe naik kereta itu yang kucari.
Harganya ramah, cukup EGP 75 sudah dapat fasilitas ekonomi yang walaupun tidak mewah tapi cukup nyaman. Untuk kalangan mahasiswa, kereta jenis Faransawi adalah yang paling favorit.
Dengan mendengek ransel, saya bersama teman berangkat. Perjalanan kutempuh selama tiga setengah jam. Jarak membentang seperti Makassar – Sengkang. Kereta membelah daratan Mesir dengan pemandangan siluet senja di luar jendela. Saya duduk menatap cakrawala ditemani lagu lamanya Banda Neira. Klasik, tapi asik.
Suasana Daurah
Ini adalah bagian yang paling menyenangkan untuk diceritakan. Abi Quraish Shihab pernah bilang, bahwa manusia punya tiga hal yang perlu dikasi makan; perut, akal, dan jiwa.
Perut diberi asupan makanan ideal empat sehat lima sempurna. Akal diberi makanan berupa ilmu yang selaras dengan logika. Dan jiwa diberi makan dengan nasihat atau motivasi yang membakar semangat.
Dan Maulana Syekh Alaa menyuapi kami semuanya, tanpa banyak syarat.
Saya bilang menyuapi karena memang kami sebagai peserta itu less effort. Hanya perlu datang, duduk, simak. Sisanya Maulana yang handle. Mulai dari menjelaskan materi, lempar jokes, bagi hadiah ke peserta yang bisa jawab, sampai pimpin zikir, selawatan, dan doa-doa panjang nan syahdu.
Kalau kita lagi lesuh atau setengah ngantuk, Maulana selalu punya cara untuk mengatasi itu. Yang paling seru, kalau beliau sampai berdiri waktu lagi qasidahan. Persis seperti dirigen orkestra, semangat dan perasaannya betul-betul sampai ke hati.
Para Ahbab tidak kalah luar biasa, para Ahbab juga all out berkhidmah untuk kegiatan daurah. Setiap hari peserta tidak perlu pusing mikir mau buka puasa di mana, karena takjil selalu ada disiapkan sama Ahbab, termasuk dengan makan beratnya.
Setiap dars juga selalu direkam lalu diunggah ke YouTube, supaya muzakarah bisa lebih stabil daripada hanya pakai catatan sendiri. Kalau penasaran, silakan kunjungi channel Sahah Sirojul Munir di sini.
Materi dars yang lumayan sulit juga sering dibantu oleh Ahbab. Maulana biasanya mempersilakan Ahbab senior untuk menjelaskan ulang suatu topik dengan bahasa Indonesia. Agar lebih menguatkan pemahaman kami yang masih haho-haho sama bahasa Arab.
Kehidupan selama Sebulan
Saya cukup bingung mau mulai dari mana, sebab jadwal kegiatan daurah Ramadan itu sudah seperti pipa Rucika: sambung-menyambung tanpa putus.
Sore dimulai dengan salat Ashar, zikir sebentar, lalu dars sampai Magrib.
Beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang, Maulana akan memimpin baca doa-doa yang berkaitan dengan Asmaul Husna yang ditutup dengan doa berbuka.
Pas ketika “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” terdengar, kita berbuka dengan kurma, halawiyat (manisan) dan minuman yang na bikin Ahbab.
Kemudian berdiri untuk salat Magrib berjamaah, baru zikir sebentar sebelum akhirnya makan berat bersama-sama. Jujur, selama sebulan itu, saya belum pernah kecewa dengan menu makanannya.
Kita makan satu nampan untuk 6-8 orang. Cuma kadang cilaka (baca: apes) juga, karena harus satu nampan dengan buaya. Kita baru makan satu suap, dia sudah suapan kelima.
Abis makan, siap-siap ke masjid untuk salat Isya dan tarawih bersama di masjid. Selalu ada tausiyah singkat dari Maulana di sela-sela tarawih delapan rakaat. Nanti setelah kelar salat witir, kita akan duduk ngumpul lagi di masjid untuk gaspol dars Bulughul Maram yang berlangsung sampai tengah malam.
Walaupun keliatannya dars ini berlangsung sangat lama, tapi aslinya chill sekali. Saya sendiri hampir tidak pernah ngantuk kalau dars, karena metode penjelasan Maulana yang selalu mengaktifkan pikiran. Kajian fikih jadi kayak nongki.
Lelucon-lelucon Maulana yang selalu fresh juga menjadi penangkis ngantuknya anak-anak. Ya walaupun kadang terjadi gagal paham (karena jokesnya pakai bahasa Arab), sehingga akhirnya Maulana juga yang harus menjelaskan jokesnya sendiri.
Nanti kalau lelucon Arabnya sudah selesai dijelaskan, barulah anak-anak pada bilang, “Ohhh, HAHAHA!!”
Dars panjang ini tidak dilakukan setiap hari. Jadwal malam berganti-ganti antara dars dan majelis zikir selawat.
Majelis zikir dan selawat ini tidak kalah serunya. Di malam-malam itu kita akan mengusap dada sambil istigfar, sekaligus mengepalkan tangan penuh semangat untuk menjadi lebih baik daripada diri ta yang sebelumnya.
Jadi jadwal makan nutrisi pikiran dan nutrisi jiwa berganti selang-seling selama tiga puluh hari. Adapun jadwal makan untuk perut, ya jelas harus setiap hari.
Baik dars malam atau majelis zikir, umumnya akan selesai kurang lebih tengah malam. Para peserta bubar dari masjid ketika hari telah berganti. Biasanya orang rumah akan mampir dulu membeli pengganjal perut sebelum lanjut masak untuk makan sahur.
Tidak jarang makanan sahur baru jadi ketika waktu sedikit lagi imsak. Wajar kalau makanan sahur akan tandas dalam keadaan masih hangat.
Sehabis sahur, sedikit cerita-cerita di ruang tengah, akan ada info dari Ketua Panitia, “Ahlan, sahah maftuhah, yaa Ahbab”.
Ketika pesan itu masuk, berarti sudah waktunya siap-siap lalu berangkat ke sahah untuk salat subuh dan wirid berjamaah hingga matahari terbit. Cahaya pagi di sahah selalu romantis karena dibarengi dengan sepatah kata tentang hikmah tasawuf dari Maulana atau Ahbab senior.
Nanti setelah itu, baru peserta akan lanjut ke dars Tahsin atau Tajwid sampai jam 08.30 pagi. Setelah dars pagi beres, kami akan pulang ke rumah dengan mata yang berat menahan ngantuk. Jam sembilan pagi berarti waktunya mi istirahat.
Sementara kita semua beristirahat, ternyata waktu tidak pernah berhenti walau sejenak. Jarum pendek baru bergeser sedikit, kegiatan Muzakarah akan segera dimulai. Jadwalnya setelah salat Zuhur, bertempat di Sahah.
Jadwal Muzakarah ini adalah ujian paling berat, sumpah. Tapi para Ahbab dan peserta lain, semangatnya menyala. Muzakarah akan berlangsung sampai Ashar, lalu kemudian lanjut dars Bulughul Maram lagi, seperti itu seterusnya.
Biaya dan Akomodasi Daurah
Selama daurah, saya bersama beberapa teman menumpang tinggal di rumah Sidi Fikry, seorang senior yang ramah. Para peserta yang lain juga kebanyakan menginap di rumah para Ahbab, atau di rumah (syaqqah) khusus peserta daurah.
Oleh karena tempat tinggal sudah disiapkan, jadi peserta tidak perlu membawa kebutuhan umum yang besar, seperti kasur, selimut, kompor, piring, ember, dan lemari. Yang perlu dibawa hanya barang-barang kebutuhan pribadi masing-masing, seperti sikat gigi, skin care dan kaos kaki.
Terus, perlu bayar berapa buat ikut Daurah? Jawabannya: Gratis. Untuk ikut dars Bulughul Maram, dars Tahsin, dars Tajwid, majelis zikir dan selawat, takjil dan makanan berbuka setiap hari, sama sekali tidak pakai duit.
Yang mungkin perlu duit hanya jajan pribadi atau mau beli lauk mewah untuk makanan sahur. Selebihnya untuk kebutuhan hidup itu sudah aman. Bawa duit sebesar Rp500.000 untuk sebulan juga sudah cukup.
Pelajaran Hidup dari Ramadan
Demikian sedikit informasi tentang Daurah Alexandria, semoga bisa memberikan cukup gambaran untuk teman-teman pembaca, kalau mau ikut di daurah selanjutnya. Kita sama-sama berharap agar Ramadan kemarin bisa diterima dan bermanfaat.
Teringat dengan salah satu kalam Maulana, “Apa tanda kalau iman kita bertambah selama Ramadan?”
Kan jelas di bulan puasa kita meningkatkan ibadah dan sedekah agar lebih bertakwa kepada Allah. Supaya iman juga bisa naik level setelah Ramadan. Tapi bagaimana caranya kita tahu?
Maulana bilang, “Tandanya kalau iman bertambah, adalah kamu tidak lagi melihat manusia. Maksudnya, kamu sudah yakin seratus persen bahwa segala sesuatu itu datang dari Allah, bukan dari orang lain.”
“Setelah ini, kamu tidak lagi sengaja berbuat baik ke orang tertentu karena pamrih, mengharap sesuatu (uang, jabatan, perhatian) dari orang itu. Karena kamu sudah yakin, tanpa dia pun kamu tetap bisa mendapat yang kamu mau kalau Allah setuju. Apa pun caranya.”
“Juga kamu tidak lagi terlalu takut sama seseorang akan berbuat jahat atau menyakitimu. Karena kamu sudah sepenuhnya yakin, bahwa apa pun yang terjadi, itu sudah dapat izin dari Allah yang Maha Pengasih.”
Awalnya saya kira daurah itu seperti seminar -datang duduk, mencatat, ngantuk, selesai, pulang. Ternyata saya salah. Daurah ini lebih mirip ospek, tapi yang dibully bukan peserta, melainkan rasa malas.